Langsung ke konten utama

Ketua Umum PBNU

NAMA KYAI IDRIS DISEBUT, JIN AKAN TAKUT

Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA.

KH. Idris Kamali adalah sepupu ibu saya, Afifah binti Harun bin Abdul Jalil. Kalau KH. Idris bin Kamali bin Abdul Jalil. Kiai Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Pergi ke Kedondong Cirebon, mendirikan pondok di Kedondong. Kini pondok tersebut sudah tidak ada. Punya anak namanya Kiai Kamali dan Kiai Harun.

Kiai Kamali berangkat ke Mekkah, mukim di sana. Semua anaknya pun lahir di sana. Setelah pulang, Kiai Idris mesantren di Tebuireng Jombang dan diambil menantu oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Punya putra satu yaitu Gus Abdul Haq. Setelah istri Kiai Idris wafat, beliau kembali ke Mekkah tahun 1973 dan kembali tahun 1981.

Kiai Idris mempunyai kelebihan yang sangat banyak, saya sendiri pernah mengalaminya. Ketika sowan ke beliau (saya masih di Lirboyo) tahun 1970, ditanya dengan bahasa Cirebon, “Kamu punya uang tidak? Ambil uang itu di toples jajan di lemari!”. Toples jajan itu ternyata benar beirisi uang, seribuan rupiah. Saya Tanya, “Berapa uwak?”. Jawab beliau, “Ya dua saja….”.

Konon kata kebanyakan orang, terkadang beliau memberi uang hanya dengan ngronggoli (asal ambil saja). Anehnya setiap beliau mengambil pasti nominalnya pas seperti yang dikehendaki. Saya sowan ke beliau di Tebuireng dua kali. Ketika di Mekkah, saya juga menyempatkan diri ikut mengaji kitab Shahih Bukhari dan Ihya’ Ulumiddin ke Kiai Idris.

Di Mekkah beliau menghabiskan waktunya di Masjidil Haram setiap waktu. Beliau memakai dua arloji yang dipakai di kedua tangannya, yang satu untuk jam istiwa’ dan yang satu untuk waktu biasa. Kalau musim panas, beliau hanya mengenakan kaos dalam saja. Kalau dilihat secara dhahir (kasat mata), itu tidak khusyu’ shalatnya.

Di Mekkah, beliau tinggal di rumah Syaikh Khatib al-Maduri. Beliau tinggal satu rumah dengan Prof. Dr. Djamaluddin Mirri, Rektor Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Dekan Fak. Ushuluddin IAIN Surabaya. Meskipun udzur, waktu jalan beliau tetap tampak semangat dan tidak pakai tongkat. Beliau juga tidak pernah terpeleset. Jika ada pemeriksaaan polisi, anehnya beliau selalu lolos, tidak pernah ditanya izin tinggal di luar negeri. Beliau juga sempat mengajar di Masjidil Haram.

Banyak cerita unik tentang sosok Kiai Idris, salah satunya di Pesantren Kempek. Suatu ketika ada jin yang mengganggu suasana pondok. Semua panik, tanpa pikir panjang saya maju sambil berteriak, “Saya adukan kamu ke Mbah Idris!!!” Mendengar kata-kata saya, jin yang mengganggu itu lari dan tidak berani kembali. Ini terjadi sampai sekarang, kalau nama Kiai Idris disebut maka jin akan takut. Ayah saya, Aqiel Siradj, adalah santri Kiai Idris. Ayah mengaji kepada Kiai Idris waktu nyantri di Pesantren Kempek.

Suatu ketika di saat bulan Ramadhan, Kiai Idris pergi ke Mesir hanya untuk mengkhatamkan kitab al-Umm di samping makam Imam Syafi’i. waktunya mulai pagi sampai sore, kadang sore sampai malam, lalu malamnya dipakai untuk shalat tahajjud. Ketika kembali ke Mekkah, beliau cerita tentang hal itu kepada saya, “Kalau bacaan saya salah, dibenarkan oleh Imam Syafi’I”. beliau diantar dan dijemput oleh Pak Syuhada’, seorang yang bekerja di KBRI.

Kiai Idris tidak senang melihat orang kuliah. Suatu kali saya ditanya oleh beliau, “Kamu kuliah? Di mana?” Saya menjawab di Ummul Qura. Kiai Idris lalu berkata “Masih bagus ngaji di Mekkah, niatnya jiwari baitillah, menjadi mukim yang dekat dengan baitulah. Kalau ngaji insya Allah kamu manfaat, wong kamu kuliah….”.

Kiai Idris adalah sosok yang sederhana dalam hal penampilan, beliau sama sekali tidak terlihat seperti ulama besar yang memakai sorban besar. Beliau hanya memakai imamah (sorban) biasa dan sarung. Tetapi kalau ada orang yang tahu tentang kema’rifatan Kiai Idris, jika beliau berjalan saja, maka orang pasti akan bersalaman dengan beliau meskipun tidak kenal. Banyak sekali ulama Arab, seperti ulama Mekkah, Syiria, Mesir, Palsetina, dll. yang menyalami tangan beliau padahal belum pernah ketemu.

Ketika saya cuti kuliah thun 1983, saya sowan dan mengaji ke Kempek untuk menemui Kiai Idris. Beliau sudah sangat sepuh. Waktu itu Kiai Idris sudah tidak mengajar lagi, kecuali hanya mengajarkan Dalail al-Khayrat. Beliau juga termasuk kiai yang kaya raya, punya sapi, kambing, sawah dan tanahnya pun berpetak-petak banyaknya.

Saya yakin beliau termasuk awliyaillah, maqamnya beliau adalah tajrid. Beliau sudah tidak pernah bertindak dengan menggunakan kausal, tidak menggunakan sabab wa musabab.

Kiai Idris adalah kiai yang hidupnya dikhidmahkan untuk mengaji kitab, mengajar dan beribadah. Beliau telah banyak membaca berbagai kitab disiplin ilmu yang beraneka ragam. Banyak kitab beliau khatamkan berkali-kali. Saking seringnya mengkhatamkan kitab, seakan-akan beliau hafal isi kitab.

Ketika ada santrinya yang membaca kitab kepada beliau, lalu bacaannya salah, maka Kiai Idris tahu kesalahannya, padahal beliau sring kali hanya menyimak bacaan santrinya tanpa melihat kitab. Kelebihan lain, beliau dapat mengetahui jika ada kitab salah cetak.

Ketika masih nyantri di Lirboyo, saya pergi ke Pesantren Tebuireng untuk mengikuti khataman kitab Shahih Bukhari yang dikaji oleh Kiai Idris. Saya sowan dan minta barokah doa. Ketika anak saya yang bernama Muhammad lahir, saya juga sowan menemui Kiai Idris yang pada saat itu sudah sangat sepuh.

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA. Alumni PP. Lirboyo Kediri, salah satu dzurriyah PP. Kempek Cirebon, dan Ketua Umum PBNU.
_____________
**Dikutip dari buku “Tokoh Besar di Balik Layar, Biografi Almarhum KH. Idris Kamali” Penerbit Pustaka Tebuireng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekor Kirab Koin NU Pecah di Nganjuk Panitia tengah menghitung hasil kirab Koin NU di Nganjuk, Ahad (27/5). Kendi, NU Online | Senin, 28 Mei 2018 13:30 Nganjuk, NU Online Semangat dalam gerakan infaq dan sedekah di masyarakat melalui gerakan Kirab Koin NU raksasa terus meningkat. Hal ini terbukti dari perolehan dana di setiap kabupaten yang mengalami peningkatan. Ahad (27/5), rekor pengumpulan dana terbesar selama kirab yang selama ini dipegang Kudus, Jawa Tengah, akhirnya pecah juga, baik lama pelaksanaan maupun jumlahnya. Di Kudus memperoleh dana 52 juta rupiah dengan waktu lebih dari satu hari. Di Nganjuk diselesaikan dalam satu hari, akan tetapi perolehan dananya sudah mencapai 57 juta rupiah. “Ini hasil sementara, karena perhitungan belum selesai,” demikian penjelasan Nikmah salah satu tokoh penggerak LAZISNU di Nganjuk. Memang dana bukanlah satu-satunya tujuan, tapi ini bagian dari simbol meningkatnya semangat dan gerakan dalam berbagi. Kita berharap dengan kirab ini,...

PELANTIKAN PENGURUS RANTING NAHDLATUL ULAMA' SE-KECAMATAN GONDANG

Sabtu, 7 Juli 2018 bertempat di Gedung KPRI "Pancamarga" Gondang. Telah dilaksanakan Pelantikan Pengurus Ranting NU Se-Kec. Gondang. Acara dimulai pukul 20.00 WIB. Hadir pada acara tersebut dari jajaran PCNU Kab. Nganjuk KH. Ali Musthofa Sa'id juga KH. Jamaludin, dari jajaran MWC NU Gondang Gus Tamyiz Burhanudin, KH. Ahmad Asyhari, K.Mustaqim, K.Ngalimun serta para kyai² lainnya, serta seluruh pengurus ranting NU baik Syuri'ah maupun Tanfidziyah serta pengurus lainnya, dari 17 Desa yakni: Sumberjo, Nglinggo, Mojoseto, Karangsemi, Senjayan, Kedungglugu, Ja'an, Sumberagung, Ketawang, Ngujung, Sanggrahan, Balonggebang, Pandean, Campur, Gondangkulon, Senggowar, dan Losari. Acara berlangsung khidmat dari awal hingga akhir, meskipun suasana gedung penuh, diperkirakan jumlah yang hadir adalah lebih dari 350 orang. Semangat perjuangan yang tinggi menjadi awal tersusunnya acara ini, dengan jeri payah yang luar biasa dari Pengurus MWC NU Gondang, serta semangat alumni PK...